Baru-baru ini Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD membeberkan berbagai alasan pemindahan ibu kota negara (IKN) di berbagai negara di belahan dunia. Ada yang berdasarkan alasan keamanan, tapi juga ada alasan politis menjauhkan rakyat dengan penguasa. Maksud itu disebutnya sebagai agenda politik terselubung atau 'hidden political agenda'.
"Ibu kota negara sering kali merupakan pusat dari gerakan masyarakat sipil dan tempat bergejolaknya protes dari masyarakat. Bahkan sejarawan Inggris Arnold Toynbee menyebut ibu kota sebagai 'the powder kegs of protest'. Maka dari itu, menurut ahli politik Jeremy Wallace, pemerintah otoriter akan menggunakan pemindahan ibu kota negara sebagai taktik segregasi dalam rangka mengasingkan gerakan masyarakat sipil yang awalnya berpusat di ibu kota negara yang lama, sehingga menjadi berjarak jauh dengan pusat pemerintahan yang berada di ibu kota yang baru," kata Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD.
Keterangan tertulis itu disampaikan Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD terkait sidang judicial review UU IKN di Mahkamah Konstitusi (MK), pada Kamis (12/5/2022). Prof Susi Dwi Harijanti menyitir pendapat Vadim Rossman, yakni tugas utama ibu kota negara adalah untuk memvisualisasikan dan mempresentasikan bangsa ke seluruh dunia. Dengan kata lain, ibu kota negara mewakili citra ideal dari suatu negara dan merupakan miniatur dari sebuah negara. Ahli sejarah Andreas W Daum berpendapat bahwa terdapat empat fungsi ibu kota bagi sebuah negara, yakni:
(1) fungsi administrasi,
(2) fungsi penunjang integrasi bangsa,
(3) fungsi simbolisasi bangsa, dan
(4) fungsi pelestarian nilai, budaya, dan sejarah bangsa.
"Berdasarkan pendapat tersebut, ibu kota negara tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan saja, akan tetapi berfungsi pula sebagai manifestasi identitas bangsa," ucap Prof Susi.
Menurut Vadim Rossman, agar fungsi ibu kota sebagai penunjang integrasi bangsa dapat terwujud secara optimal, ibu kota harus dihasilkan melalui kompromi dari elemen-elemen bangsa yang terdiri atas etnis, agama, dan suku yang berbeda. Hal tersebut akan membuat ibu kota menjadi alat pemersatu dari perbedaan-perbedaan yang ada dalam suatu bangsa.
"Montesquieu dalam bukunya 'My Thoughts (Mes Pensées)' menggambarkan pula ibu kota sebagai kota yang menciptakan 'general spirit' bagi sebuah bangsa," tutur Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD.
Dalam beberapa kasus, dijumpai kondisi ketika ibu kota suatu negara tidak dapat menghadirkan fungsi-fungsi ibu kota tersebut. Misalnya ibu kota yang lama dianggap menjadi sumber perpecahan dan secara geografis rentan terhadap bencana alam, sosial, maupun serangan militer. Maka dari itu, beberapa negara di dunia memutuskan untuk memindahkan lokasi ibukotanya dengan harapan ibu kota baru dapat lebih baik daripada ibu kota sebelumnya.
"Namun Vadim Rossman mengingatkan bahwa dapat saja pemindahan ibu kota dilakukan karena adanya 'hidden political agenda', misalnya dalam rangka memperkuat kekuatan politik suatu rezim," beber Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD.
Rossman mengemukakan tiga bentuk hidden political agenda yang mungkin terjadi yakni:
1) mengasingkan atau marginalisasi gerakan protes,
2) Homogenisasi etnis penduduk ibu kota, dan
3) pemindahan ibu kota ke wilayah asli penguasa.
Ibu kota negara sering kali merupakan pusat dari gerakan masyarakat sipil dan tempat bergejolaknya protes dari masyarakat, bahkan sejarawan Inggris Arnold Toynbee menyebut ibu kota sebagai 'the powder kegs of protest'. Hal tersebut pernah terjadi di Prancis pada 1871, ketika terjadi protes besar-besaran di Paris.
"Pemerintah Prancis memindahkan ibu kota sementara ke Versailles untuk menghindari protes. Begitu pula dengan Myanmar, pemerintah otoriter di sana memindahkan ibu kota negara dari Yangon ke Naypyidaw karena Kota Yangon merupakan pusat gerakan dari para biksu yang kerap memprotes pemerintah," kata Prof Susi menguraikan.
Agar pemindahan ibu kota benar-benar dilakukan untuk kepentingan negara dan bangsa, terdapat sejumlah pertanyaan yang dibuat oleh Vadim Rossman, yakni:
1. Di mana lokasi yang paling aman untuk dijadikan ibu kota negara.
2. Di mana lokasi yang paling efektif secara ekonomi dan administratif untuk mencapai tujuan negara.
3. Di mana lokasi yang dianggap paling adil bagi berbagai kelompok masyarakat.
4. Lokasi mana yang paling organik, autentik, dan sesuai dengan identitas dan kedaulatan bangsa yang diwakili oleh negara.
"Mengingat fungsi fundamental ibu kota negara bagi sebuah bangsa, proses pembuatan keputusan untuk memindahkan ibu kota harus mencerminkan 'fundamental decision of a nation'. Hal tersebut juga sebagai bentuk pencegahan agar tidak terjadi pemindahan ibu kota negara yang hanya dilatarbelakangi oleh hidden political agenda," tegas Prof Susi Dwi Harijanti SH LLM PhD, yang menyelesaikan S2 dan S3-nya di The University of Melbourne.